Selasa, 07 Juni 2011

Menyatukan Berkumur dan Menghirup Air Ketika Wudhu'

Memisahkan antara  berkumur dengan menghirup air dengan cara mengambil air tersendiri atau terpisah untuk berkumur-kumur dan untuk  menghirup air merupakan “kekhilafan” yang hampir merata di tengah masyarakat muslim khususnya di Indonesia. Padahal sesungguhnya tuntunan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah tidak memisahkan kedua hal tersebut.
Memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air tidak dilandasi tuntunan yang tepat dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Pelaku hal tersebut sandarannya hanyalah dibangun di atas hadits yang lemah.
Hadits Tholhah bin Mushorrif dari ayahnya dari kakeknya, beliau berkata, yang artinya: “Saya masuk kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau sedang berwudhu. Air mengucur dari wajah dan jenggot beliau di atas dadanya. Saya melihat beliau memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air ke hidung.” (HR: Abu Daud dalam Sunan-nya no. 139, Al Baihaqy dalam Sunan-nya 1/51 dan Ath Thobaroni jilid 19 no 409-410, Semuanya dari jalan Al Laits bin Abi Sulain dari Thalhah bin Musharrif dari ayahnya dari kakeknya), Dan dalam salah satu riwayat Ath Thobarani dengan lafadz, yang artinya: “Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berwudhu lalu berkumur-kumur tiga kali dan menghiru air tiga kali, beliau mengambil air baru (baca: tersendiri) untuk setiap anggota…” (Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al ‘Ilal 1/53 karya anaknya)

Ada dua kelemahan dalam sanadnya:
Pertama: Terdapat rawi yang bernama Al Laits bin Abi Sulaim dan ia telah dilemahkan oleh Ibnu Mahdy, Yahya Al Qoththon, Ibnu ‘Uyyainah, Ibnu Ma’in, Ahmad, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ya’qub Al Fasawy, An Nasa’I dan lain-lain, bahkan Imam An Nawawy dalam kitab Tahdzib Al Asma’ wal Lughat 1/2/75 menukil kesepakatan para ulama atas lemah dan goncangnya hadits Al Laits bin Abi Sulaim. 
Kedua: Ayah Tholhah bin Mushorrif adalah rawi yang majhul (tidak dikenal).
Dan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish menyebutkan bahwa Ibnus Sakan menyebut dalam shahihnya satu hadits dari jalan Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah baliau berkata: “Saya menyaksikan Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan berwudhu tiga kali tiga kali, lalu kedanya menyendirikan baca: memisahkan) kumur-kumur dari menghirup air. Kemudian keduanya berkata: Demikianlah kami melihat Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda”. Al Hafidz Ibnu Hajar tidak menyebutkan sanad hadits ini, tapi bisa dipastikan bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah karena Utsman bin Affan dalam riwayat Bukhari dan Muslim dan lain-lainnya telah memperagakan cara wudhu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau tidak memisahkan antara kumur-kumur dan menghirup air. Dan demikian pula Ali bin Abi Thalib memperagakan wudhu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tapi juga tidak memisahkan antara kumur-kumur dan menghirup air, demikian dalam riwayat yang shahih dari Ali bin Abi Thalib.
Kemudian kita menemukan sanad hadits Abi Wail Syaqiq bin Salamah yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar tersebut, yakni diriwayatkan oleh Ibnul Ja’d sebagaimana dalam Al Ja’diyyat no 3406 dan dari jalannya diriwayatkan oleh Al Maqdasy dalam Al Mukhtaroh no 347 dari jalan Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban dari Abdah bin Abi Lubabah dari Syaqiq bin Salamah sama dengan lafadz yang disebut oleh Al Hafidz Ibnu Hajar tapi Ali bin Abi Thalib tidak disebutkan. Dan Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban yang didalam sanad adalah rawi yang dhaif (lemah) maka hadits ini adalah mungkar karena menyelisihi riwayat para rawi yang tsiqah yang tidak menyebutkan lafadz ini.
Maka sebagai kesimpulan seluruh hadits yang menjelaskan bahwa kumur-kumur dipisah dari menghirup air, semuanya adalah hadits yang lemah.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab 1.398: Adapun memisah (antara kumur-kumur dan menghirup air -pent) tidak ada sama sekali hadits yang tsabit (kuat). Yang ada hanyalah hadits Thalhah bin Musharrif dan ia adalah lemah. Dan Ibnul Qayyim menyatakan dalam Zadul Ma’ad 1/192-193: Dan tidaklah datang memisah antara kumur-kumur dan menghirup air dalam hadits yang shahih sama sekali.
Setelah membaca uraian lemahnya hadits yang menjelaskan disyari’atkannya memisah antara kumur-kumur dan menghirup air, mungkin akan muncul pertanyaan di dalam pikiran kita: Kalau cara memisah antara kumur-kumur dan menghirup air itu salah, lalu bagaimana cara yang benar?
Secara global, kita menetapkan bahwa kumur-kumur dan menghirup air adalah menggabungkan dengan cara mengambil air lalu digunakan untuk berkumur-kumur sekaligus menghirup air.
Secara terperinci dan ilmiah, dalam hadits Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diterangkan tiga kaifiyat (cara) dalam berkumur-kumur dan menghirup air, yakni:
  1. Berkumur-kumur dan menghirup air secara bersamaan dari satu telapak tangan sebanyak tiga kali cedukan. Hal ini diterangkan dalam beberapa hadits diantaranya adalah hadits Abdullah bin Zaid riwayat Bukhari dan Muslim, yang artinya: “Maka berliau berkumur-kumur dan menghirup air dari satu telapak tangan, beliau kerjakan itu sebanyak tiga kali.”
  2. Berkumur-kumur dan menghirup air secara bersamaan sebanyak tiga kali dari satu kali cedukan air dengan satu telapak tangan. Cara ini walaupun agak sulit diterapkan, tapi hal itu adalah mungkin dan bisa. Sebab kaifiyat ini telah diterangkan dalam hadits Abdullah bin Zaid riwayat Bukhari, yang artinya: “Maka beliau berkumur-kumur dan (menghirup air lalu) mengeluarkannya sebanyak tiga kali dari satu cirukan.”
  3. Ketiga: Berkumur-kumur tigak kali lalu menghirup air tiga kali dari satu kali cedukan dengan satu telapak tangan. Hal ini dijelaskan dalam hadits Ali bin Abi Thalib, yang artinya: “Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana lalu berkumur-kumur tiga kali dan menghirup air tiga kali”. (HR: Abu Dawud, An Nasa-i dan lainnya dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Jami’ Ash Shohih dan Al Hafidz dalam At Talkhish menyebutkan jalan-jalan yang banyak dari hadits ini).
 Hadits ini walaupun mengandung ihtimal (kemungkinan) tapi dzahirnya menunjukkan kaifiyat tersendiri. Wallahu ‘Alam.
(Sumber Rujukan: Tahdzibut Tahdzib; Al Badrul Munir 3/277-286; At Talkhish Al Habir 1/133-134; Nashbur Royah 1/17; Ikhtiyarat Ibnu Qudamah 1/158; Al Mughni 1/170-171 dan Al Majmu’ 1/397-398)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar