Rabu, 15 Juni 2011

Meraih Derajat Ihsan

Derajat ihsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba. Tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah yang khusus saja yang bisa mencapai derajat mulia ini. Oleh karena itu, merupakan keutamaan tersendiri bagi hamba yang mampu meraihnya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk di dalamnya.
Antara Islam, Iman, dan Ihsan
Suatu ketika Malaikat Jibril ‘alaihis sallam datang di majelis Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam rupa manusia, kemudian menanyakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beberapa pertanyaan. Di antara pertanyaannya adalah tentang makna islam, iman, dan ihsan. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dan dibenarkan oleh Jibril. Berdasarkan hadist ini [1], para ulama membagi agama Islam menjadi tiga tingkatan yaitu islam, iman, dan ihsan.
Tingkatan agama yang paling tinggi adalah ihsan, kemudian iman, dan paling rendah adalah islam. Kaum muhsinin (orang-orang yang memiliki sifat ihsan) merupakan hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh sebab itu, sebagian ulama menjelaskan jika ihsan sudah terwujud berarti iman dan islam juga sudah terwujud pada diri seorang hamba. Jadi, setiap muhsin pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Namun tidak berlaku sebaliknya. Tidak setiap muslim itu mukmin dan tidak setiap mukmin itu mencapai derajat muhsin. Pelaku ihsan adalah hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh karena itu, di dalam al Quran disebutkan hak-hak mereka secara khusus tanpa menyebutkan hak yang lainnya.[2]
Makna Ihsan
Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaa-ah (berbuat buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menahan diri dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada hamba Allah yang lainnya baik melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya, maupun raganya.

Kaum Muslimin akan Melihat Allah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwasanya kaum Muslimin akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat secara jelas dengan mata kepala mereka sebagaimana melihat matahari dengan terang, tidak terhalang oleh awan sebagaimana mereka melihat bulan di malam bulan purnama. Mereka tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian, sebagaimana kalian melihat bulan pada malam bulan purnama, kalian tidak terhalang (tidak berdesak-desakan) ketika melihat-Nya. Dan jika kalian sanggup untuk tidak dikalahkan (oleh syaithan) untuk melakukan shalat sebelum Matahari terbit (shalat Subuh) dan sebelum terbenamnya (shalat ‘Ashar), maka lakukanlah.” [1]
Kaum Mukminin akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di padang Mahsyar, kemudian akan melihat-Nya lagi setelah memasuki Surga, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. [2]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat.” [Al-Qiyaamah: 22-23]

Jumat, 10 Juni 2011

Rukun Iman dan Cabangnya

Rukun-rukun Iman
Yang dimaksud rukun iman adalah sesuatu yang menjadi sendi tegaknya iman.
Rukun iman ada enam:
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada para malaikat
3. Iman kepada kitab-kitab samawiyah
4. Iman kepada para rasul
5. Iman kepada hari Akhir
6. Iman kepada takdir Allah, yang baik maupun yang buruk.

Dalilnya adalah jawaban Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ketika Jibril bertanya padanya tentang iman:
"Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitab-Nya, para rasulNya, kepada hari akhir Akhir dan engkau ber-iman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk." (HR. Al-Bukhari, I/19,20 dan Muslim , I/37)


Cabang-cabang Iman
Cabang-cabang iman bermacam-macam, jumlahnya banyak, lebih dari 72 cabang. Dalam hadits lain disebutkan bahwa cabang-cabangnya lebih dari 70 buah.

Akhlak Islam Cerminan Aqidah Islam

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak yang agung” (Al qalam : 4). Adakah orang yang tidak menyukai perhiasan ? jawaban pertanyaan ini jelas, bahwa tidak ada seorangpun melainkan ia menyukai perhiasan dan senang untuk tampil berhias di hadapan siapa saja. Karena itu kita lihat banyak orang berlomba-lomba untuk memperbaiki penampilan dirinya. Ada yang lebih mementingkan perhiasan dhahir (luar) dengan penambahan aksesoris sepertipakaian yang bagus, make up yang mewah dan emas permata, sehingga mengundang decak kagum orang yang melihat. Adapula yang berupaya memperbaiki kualitas akhlak, memperbaiki dengan akhlak islami.
Yang disebut terakhir ini tentunya bukan decak kagum manusia yang dicari, namun karena kesadaran agamanya menghendaki demikian dengan disertai harapan mendapatkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kalaupun penampilannya mengundang pujian orang, ia segera mengembalikannya kepada Allah karena kepunyaan-Nyalah segala pujian dan hanya Dialah yang berhak untuk dipuji.
ISLAM MENGUTAMAKAN AKHLAK
Mungkin banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Di satu sisi kita mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti agama ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam masalah akhlak kurang diperhatikan. Sehingga tidak dapat disalahkan bila ada keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awwam, seperti ucapan : “Wah udah ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua.” Atau ucapan : “Dia sih agamanya bagus tapi sama tetangga tidak pedulian.”, dan lain-lain.
Seharusnya ucapan-ucapan seperti ini ataupun yang semisal dengan ini menjadi cambuk bagi kita untuk mengoreksi diri dan membenahi akhlak. Islam bukanlah agama yang mengabaikan akhlak, bahkan islam mementingkan akhlak. Yang perlu diingat bahwa tauhid sebagai sisi pokok/inti islam yang memang seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara penyempurnaannya. Dan akhlak mempunyai hubungan yang erat. Tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah dan ini merupakan pokok inti akhlak seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang maka semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang muwahhid memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya.
RASUL DIUTUS UNTUK MENYEMPURNAKAN AKHLAK
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, rasul kita yang mulia mendapat pujian Allah. Karena ketinggian akhlak beliau sebagaimana firmanNya dalam surat Al Qalam ayat 4. bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang ada pada diri manusia, “Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.Ahmad, lihat Ash Shahihah oleh Asy Syaikh al Bani no.45 dan beliau menshahihkannya).

Hakikat Iman

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-nya." (Al-Anfal: 2-4)

"Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki (nikmat) yang mulia." (Al-Anfal: 74)

Dalam ayat-ayat yang pertama Allah menyebutkan orang-orang yang lembut hatinya dan takut kepada Allah ketika namaNya dise-but, keyakinan mereka bertambah dengan mendengar ayat-ayat Allah. Mereka tidak mengharapkan kepada selainNya, tidak menyerahkan hati mereka kecuali kepadaNya, tidak pula meminta hajat kecuali ke-padaNya.

Makna Iman

Definisi Iman
Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah: membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.

Ini adalah pendapat jumhur. Dan Imam Syafi'i meriwayatkan ijma para sahabat, tabi'in dan orang-orang sesudah mereka yang sezaman dengan beliau atas pengertian tersebut.

Penjelasan Definisi Iman
"Membenarkan dengan hati" maksudnya menerima segala apa yang dibawa oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam.

Makna Aqidah Dan Urgensinya Sebagai Landasan Agama

Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Uluhiyah adalah ibadah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyari'atkan seperti do'a, nadzar, kurban, raja' (pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut) dan inabah (kembali/taubat).

Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu'." (An-Nahl: 36)

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, 'Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'." (Al-Anbiya': 25)

Rabu, 08 Juni 2011

Istiqomah di Atas Tauhid

Istiqomah, sebuah perbendaharaan paling berharga bagi setiap insan… Tidak ada seorang pun di dunia ini melainkan membutuhkannya. Agar kelak di akherat, dirinya bisa berbahagia tatkala berjumpa dengan-Nya…
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya;
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ ح و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ جَمِيعًا عَنْ جَرِيرٍ ح و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ كُلُّهُمْ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ
Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib menuturkan kepada kami. Mereka berdua berkata; Ibnu Numair menuturkan kepada kami [tanda perpindahan sanad] demikian pula Qutaibah bin Sa’id dan Ishaq bin Ibrahim mereka semuanya menuturkan kepada kami dari Jarir [tanda perpindahan sanad] begitu pula Abu Kuraib menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abu Usamah menuturkan kepada kami. Mereka semuanya meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi, dia berkata; Aku berkata, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepada saya suatu ucapan di dalam Islam yang tidak akan saya tanyakan kepada seorang pun sesudah anda.” Sedangkan dalam penuturan Abu Usamah dengan ungkapan, “orang selain anda”, maka beliau menjawab, “Katakanlah; Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqomahlah.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman, lihat Syarh Nawawi [2/91-92])
Istiqomah, sebuah perkara yang sangat agung dan tidak bisa diremehkan, sampai-sampai Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan tatkala menjelaskan firman Allah ta’ala,
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Istiqomahlah engkau sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu.” (QS. Huud : 112)

Keindahan Asmaul Husna

Berbicara tentang keindahan al-Asma-ul husna (nama-nama Allah Ta’ala yang maha indah) berarti membicarakan suatu kemahaindahan yang sempurna dan di atas semua keindahan yang mampu digambarkan oleh akal pikiran manusia.
Betapa tidak, Allah Ta’ala adalah zat maha indah dan sempurna dalam semua nama dan sifat-Nya, yang karena kemahaindahan dan kemahasempurnaan inilah maka tidak ada seorang makhlukpun yang mampu membatasi pujian dan sanjungan yang pantas bagi kemuliaan-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dalam sebuah doa beliau yang terkenal:
لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang Engkau peruntukkan bagi diri-Mu[1].
Maka sebagaimana kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang tidak terbatas, demikian pula pujian dan sanjungan bagi-Nya tidak terbatas, karena pujian dan sanjungan itu sesuai dengan zat yang dipuji. Oleh karena itu, semua pujian dan sanjungan yang ditujukan kepada-Nya bagaimanapun banyaknya, panjang lafazhnya dan disampaikan dengan penuh kesungguhan, maka kemuliaan Allah Ta’ala lebih agung (dari pujian dan sanjungan tersebut), kekuasaan-Nya lebih mulia, sifat-sifat kesempurnaan-Nya lebih besar dan banyak, serta karunia dan kebaikan-Nya (kepada makhluk-Nya) lebih luas dan sempurna[2].

Nama Allah yang Paling Agung

Memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala adalah ilmu yang paling agung dan mulia dalam Islam[1], sekaligus ilmu yang paling besar manfaatnya untuk kebaikan dan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah landasan semua ilmu, sekaligus merupakan landasan pemahaman seorang hamba terhadap kebahagiaan, kesempurnaan dan kebaikan (dirinya) di dunia dan akhirat. Ketidakpahaman terhadap ilmu ini akan mengakibatkan ketidakpahaman terhadap kebaikan, kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan diri sendiri. Maka memahami ilmu ini adalah (kunci utama) kebahagiaan seorang hamba, dan ketidakpahaman tentangnya merupakan sumber (utama) kebinasaannya”[2].
Inilah makna firman Allah Ta’ala,
{وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah (tidak mengenal-Nya), maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS al-Hasyr:19).
Oleh karena itu, mempelajari ilmu ini termasuk amal shaleh yang paling besar keutamaannya dalam Islam, sebagaimana beribadah kepada Allah Ta’ala semata-mata adalah amal shaleh yang paling besar keutamaannya[3].
Bahkan ilmu inilah yang disebut “al-fiqhul akbar” (fikih/pemahaman agama yang paling agung), serta yang pertama kali dan paling utama termasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Allah akan memahamkannya (ilmu) tentang agama[4].[5]
Termasuk masalah penting yang dibahas oleh para ulama dalam ilmu yang agung ini adalah mengetahui nama Allah Ta’ala yang paling agung[6], yang jika seorang hamba berdoa dengan nama tersebut maka Allah Ta’ala akan mengabulkan doanya, dan jika dia memohon kepada-Nya dengan nama tersebut maka Allah Ta’ala akan memenuhi permohonannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih yang akan kami sebutkan insya Allah.

Sudahkah kita mengenal Allah??

Pertanyaan ini mungkin jarang sekali kita dengar. Bahkan, bagi banyak orang akan terasa aneh dan terkesan tidak penting. Padahal, mengenal Allah dengan benar (baca: ma’rifatullah) merupakan sumber ketentraman hidup di dunia maupun di akherat. Orang yang tidak mengenal Allah, niscaya tidak akan mengenal kemaslahatan dirinya, melanggar hak-hak orang lain, menzalimi dirinya sendiri, dan menebarkan kerusakan di atas muka bumi tanpa sedikitpun mengenal rasa malu.
Berikut ini, sebagian ciri-ciri atau indikasi dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta keterangan para ulama salaf yang dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam menjawab pertanyaan di atas:
Pertama; Orang Yang Mengenal Allah Merasa Takut Kepada-Nya
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu saja.” (QS. Fathir: 28)

Selasa, 07 Juni 2011

Syarat-Syarat Jual Beli Dan Hukumnya

Persyaratan dalam transaksi jual-beli sering kali ditemukan. Terkadang orang-orang yang berjual beli atau salah satu dari keduanya membutuhkan adanya satu pensyaratan atau lebih, maka hal ini menunjukan pentingnya membahas tentang syarat-syarat tersebut dan menjelaskan apa yang sah dan tidak sah serta yang wajib dalam syarat jual beli.
Para Fuqaha rahimahumullah mereka mendefinisikan syarat dalam jual beli yaitu salah satu dari yang berjual beli mewajibkan kepada yang lainnya dengan sebab akad yang mengandung manfaat. Menurut mereka syarat dalam jual beli tidaklah teranggap untuk dilakukan kecuali jika disyaratkan pada saat akad. Maka tidak sah syarat sebelum atau setelah akad.
Syarat Jual Beli

Syarat dalam jual beli terbagai ke dalam dua :
1. Syarat yang sah
2. Syarat yang rusak (tidak sah)
Pertama: Syarat yang sah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan konsekuensi akad

Menyatukan Berkumur dan Menghirup Air Ketika Wudhu'

Memisahkan antara  berkumur dengan menghirup air dengan cara mengambil air tersendiri atau terpisah untuk berkumur-kumur dan untuk  menghirup air merupakan “kekhilafan” yang hampir merata di tengah masyarakat muslim khususnya di Indonesia. Padahal sesungguhnya tuntunan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah tidak memisahkan kedua hal tersebut.
Memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air tidak dilandasi tuntunan yang tepat dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Pelaku hal tersebut sandarannya hanyalah dibangun di atas hadits yang lemah.
Hadits Tholhah bin Mushorrif dari ayahnya dari kakeknya, beliau berkata, yang artinya: “Saya masuk kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau sedang berwudhu. Air mengucur dari wajah dan jenggot beliau di atas dadanya. Saya melihat beliau memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air ke hidung.” (HR: Abu Daud dalam Sunan-nya no. 139, Al Baihaqy dalam Sunan-nya 1/51 dan Ath Thobaroni jilid 19 no 409-410, Semuanya dari jalan Al Laits bin Abi Sulain dari Thalhah bin Musharrif dari ayahnya dari kakeknya), Dan dalam salah satu riwayat Ath Thobarani dengan lafadz, yang artinya: “Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berwudhu lalu berkumur-kumur tiga kali dan menghiru air tiga kali, beliau mengambil air baru (baca: tersendiri) untuk setiap anggota…” (Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al ‘Ilal 1/53 karya anaknya)

Perbedaan Nabi Dan Rasul

Memang benar, ada perbedaan antara nabi dan rasul. Ulama mengatakan bahwa nabi adalah seorang yang diberi wahyu oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan suatu syari’at namun tidak diperintah untuk menyampaikannya, akan tetapi mengamalkannya sendiri tanpa ada keharusan untuk menyampaikannya. Sedangkan rasul adalah seorang yang mendapat wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan suatu syari’at dan ia diperintahkan untuk menyampaikannya dan mengamalkannya. Setiap rasul mesti nabi, namun tidak setiap nabi itu rasul. Jadi para nabi itu jauh lebih banyak ketimbang para rasul.
Sebagian rasul-rasul itu dikisahkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an dan sebagian yang lain tidak dikisahkan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mu’jizat melainkan dengan seizin Alloh”. (QS: Ghafir : 78)
Bertolak dari ayat ini, maka dapat disimpulkan bahwa setiap nabi yang disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah juga sebagai rasul.

Kekeliruan Dalam Memandang Masa Muda

Masih amat banyak para pemuda yang jatuh dalam pergaulan yang salah, senang dengan tindakan brutal dan kekerasan, ugal-ugalan, hura-hura dan bahkan kemaksiatan seperti, minum minuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya. Termasuk tingkat yang mengkhawatirkan adalah meninggalkan kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang telah baligh, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Alasannya sangat sederhana, yakni memang begitulah seharusnya seorang pemuda itu, kalau tidak demikian namanya bukan anak muda.
Kita semuanya tanpa kecuali pasti menyadari, bahwa masing-masing kita mempunyai kesalahan dan pernah berdosa, terlupa serta khilaf. Hanya saja orang yang mendapatkan taufiq dan mau menyadari kekeliruannya pasti akan bersegera untuk bertaubat dan minta ampun kepada Alloh Subahanahu wa Ta’ala. Menyesali perbuatan itu dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi-nya, sebagaimana difirmankan Alloh Subahanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Alloh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Alloh, dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal” (QS: Ali ‘Imron: 135-136)
Betapa Maha Besarnya Alloh Subahanahu wa Ta’ala; Seseorang telah melakukan tindak kekejian, menganiaya diri sendiri, kemudian mau bertaubat, menyesal, minta ampunan dan meninggalkan kemaksiatan itu lalu Alloh Subahanahu wa Ta’ala mengampuni dan memberikan untuknya kenikmatan abadi di Surga. Mengalir di bawahnya sungai-sungai, disediakan buah-buahan ranum tak kenal musim, keteduhan dan kedamaian, bidadari yang jelita dan memandang wajah Alloh Subahanahu wa Ta’ala Yang Agung lagi Mulia yang merupakan nikmat paling besar bagi penduduk Surga.
Dasar Kekeliruan
Berbagai tindakan menyimpang yang dilakukan para pemuda ternyata memiliki muara yang boleh dikatakan sama, yaitu kekeliruan dalam memahami dan menyikapi masa muda. Hampir sebagian besar pemuda memiliki persangkaan dan persepsi, bahwa masa muda adalah masa berkelana, hura-hura, bersenang-senang, main-main, berfoya-foya dan mengabiskan waktu untuk bersuka ria semaunya.
Untuk menimbang dan memandang dari sudut syar’i dikatakan belum waktunya  dan bukan trendnya. Padahal kenyataannya syari’at berbicara lain, yaitu masa muda adalah masa dimulainya seseorang untuk memikul suatu beban tanggung jawab sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi, bahwa ada tiga golongan yang pena diangkat (tidak ditulis dosanya) yang salah satunya adalah seorang anak hingga ia dewasa (menjadi pemuda). Maka bagaimanakah seorang pemuda muslim yang ketika itu catatan keburukan sudah mulai ditulis malah justru memperbanyak keburukannya?

Bumi dan Langit Berlapis Tujuh

Di dalam Al-Qur’an Al-karim disebutkan bahwasanya Alloh Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bumi berlapis tujuh, sebagaimana juga langit yang telah Alloh Subhanahu wa Ta’ala ciptakan berlapis tujuh.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Alloh-lah yang menciptakan tujuh langit; dan seperti itu pula bumi. Perintah Alloh berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah maha berkuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Alloh ilmuNya benar-benar meliputi segala sesuatu” (QS: Ath-Thalaq : 12)
Didalam hadits shahih disebutkan bahwa bumi berlapis tujuh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari hadits no.2320 dan Muslim hadits no. 1610 dari Sa’id bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah (orang lain) secara zhalim, maka kelak Alloh himpitkan kepadanya pada hari kiamat (dengan) tujuh lapis bumi”
Di dalam kitab Shahihain (Bukhari no.2321 dan Muslim no.1612) juga tercantum hadits serupa itu dari Aisyah secara marfu.
(Sumber Rujukan: Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah 1/63, Fatwa no. 8805 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh)

Waspadalah Dari Thoghut

Thoghut adalah setiap yang disembah selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala, ia rela dengan peribadatan yang dilakukan oleh penyembah atau pengikutnya, atau rela dengan keta’atan orang yang menta’atinya dalam hal maksiat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengutus para Rasul agar memerintahkan kaumnya menyembah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata dan menjauhi segala bentuk thoghut. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (semata), dan jauhilah thoghut itu’.” (QS: An-Nahl: 36)
Bentuk thoghut itu amat banyak, tetapi pemimpin mereka ada lima, yaitu:
  1. Setan.
    Thoghut ini selalu menyeru beribadah kepada selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dalil-nya adalah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” (QS: Yaasiin: 60)
  2. Penguasa zhalim yang mengubah hukum-hukum Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
    Seperti peletak undang-undang yang tidak sejalan dengan Islam. Dalilnya adalah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang mengingkari orang-orang musyrik. Mereka membuat peraturan dan undang-undang yang tidak diridhai oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Alloh?” (QS: Asy-Syuuraa: 21)

Ada Apa Dengan Ucapan "sodaqollahul adzim"

Ucapan “sodaqollahul adzim” setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya bukanlah hal yang asing di kalangan kita kaum muslimin. Dari anak kecil sampai orang tua, pria atau wanita sudah biasa mengucapkannya. Dan sangat sungguh disedihkan, para qori Al Quran dan para khotib di mimbar-mimbar juga mengucapkannya bila selesai membaca satu atau lebih ayat Al Quran. Ada apa memangnya dengan kalimat itu?
Mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah selasai membaca Al Quran baik satu ayat atau lebih adalah suatu hal yang tidak ada tuntunan dalam syariat Islam, lalu darimanakah hal ini bisa muncul dikalangan umat Islam Indonesia…. Untuk lebih meyakinkan kita, sebagai Umat Islam kita harus bertindak berdasarkan Ilmu yang berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah rasulNya yang shohih.
Sahabat Ibnu Mas’ud telah berkata, “Ikutilah, dan jangan kalian membuat perkara baru !”. Suatu peringatan tegas dimana kita tidak perlu untuk menambah–nambah sesuatu yang baru atau bahkan mengurangi sesuatu dalam hal agama. Banyak ide atau atau anggapan–anggapan baik dalam agama yang tidak ada contohnya bukanlah perbuatan terpuji yang akan mendatangkan pahala, tetapi justru yang demikian itu berarti menganggap kurang atas syariat yang telah dibawa oleh Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam, dan bahkan yang demikian itu dianggap telah membuat syariat baru. Seperti perkataan Iman Syafi’i, ”Siapa yang membuat anggapan-anggapan baik dalam agama sungguh ia telah membuat syariat baru.”
Berkenaan Dengan Mengucapkan “sodaqollahul adzim” Marilah Kita Simak Dalil Berikut Ini

Pertama
Dalam shahih Bukhori no. 4582 dan shahih Muslim no. 800, dari hadits Abdullah bin Mas’ud berkata, yang artinya: “Berkata Nabi kepadaku, “Bacakanlah padaku.” Aku berkata, “Wahai Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam, apakah aku bacakan kepadamu sedangkan kepadamu telah diturunkan?” beliau menjawab, “ya”. Maka aku membaca surat An Nisa hingga ayat “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS: An Nisa: 41) beliau berkata, “cukup”. Lalu aku (Ibnu Masud) menengok kepadanya ternyata kedua mata beliau berkaca-kaca.”
Sahabat Ibnu Mas’ud dalam hadits ini tidak menyatakan “sodaqollahul adzim” setelah membaca surat An Nisa tadi. Dan tidak pula Nabi memerintahkannya untuk menyatakan “sodaqollahul adzim”, beliau hanya mengatakan kepada Ibnu Mas’ud “cukup”.

Diam Saat Khutbah Jum’at

Di antara syiar Jum’at yang paling besar ialah dua khutbah. Diantara adab orang yang mendengarkannya ialah diam dan mendengarkan khatib selama dua khutbah itu disampaikan, agar dia dapat menyerap nasihatnya dan mengamini doanya. Karena itulah Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa Salam memperingatkan berkata-kata ketika khutbah disampaikan, meski dengan ucapan yang singkat. Seseorang yang berkata kepada rekan di sampingnya, “Diamlah!” ketika imam menyampaikan khutbah, berarti dia telah mengucapkan perkataan yang rusak, karena dia melakukan sesuatu yang menafikan perhatian terhadap khutbah.
Naskah Hadist:
عَنْ أَبُوهُرَ يْرَة أَنَّ رَسُو لَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قاَلَ إِذَا قُلْتَ لِصَا حِبِكَ يَوْمَ الْخُمُعَةِ أَنْصِتْ و َالإِ مَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْ تَ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa Salam  bersabda, ‘Jika engkau berkata kepada rekanmu, ‘Diamlah’, pada Jum’at padahal imam sedang menyampaikan khutbah, berarti engkau telah mengucapkan perkataan yang rusak’.”
Penjelasan Lafazh:
Lagha seperti bentuk ghaza, yang artinya mengucapkan perkataan batil yang tidak ada manfaatnya. An-Nadhar bin Syumail menafsirinya dengan perkataan yang tidak ada pahalanya.
Kesimpulan Hadist:
  1. Kewajiban mendengarkan khatib pada saat Jum’at. Ibnu Abdil-Barr menukil ijma’ tentang hukum wajibnya mendengarkan khutbah ini.
  2. Keharaman berbicara ketika mendengarkan khutbah, karena pembicaraan itu menafikan keharusan mendengarkan pada saat itu.
  3. Ada pengecualian untuk masalah ini, yaitu orang yang diajak bicara oleh khatib atau orang yang berbicara dengan khatib, seperti tentang orang yang masuk masjid padahal belum shalat tahiyatul masjid atau seperti kisah Arab Badui yang mengadukan musim kemarau kepada Rasulullah Shalallahu’alaui wa sallam.
  4. Sebagian ulama mengecualikan orang yang tidak dapat mendengarkan khutbah karena jaraknya yang jauh, jika tidak diharuskan diam, tapi dapat melakukan dzikir atau membaca Al-Qur’an. Tapi pendapat ini menimbulkan banyak tanggapan. Adapun orang yang tidak dapat mendengar khutbah tuli, tidak boleh membaca dengan suara nyaring sehingga mengganggu sekitarnya. Dia dapat melakukannya di dalam hati.
(Sumber Rujukan: Taysirul ‘Allam hadist ke134)

Cara Menangkal dan Menanggulangi Sihir

Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mensyari’atkan kepada hamba-hamba-Nya supaya mereka menjauhkan diri dari kejahatan sihir sebelum terjadi pada diri mereka. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan tentang bagaimana cara pengobatan sihir bila telah terjadi. Ini merupakan rahmat dan kasih sayang Alloh Subhanahu wa Ta’ala, kebaikan dan kesempurnaan nikmat-Nya kepada mereka.
Berikut ini beberapa penjelasan tentang usaha menjaga diri dari bahaya sihir sebelum terjadi, begitu pula usaha dan cara pengobatannya bila terkena sihir, yakni cara-cara yang dibolehkan menurut hukum syara’.Pertama: Tindakan Preventif, yakni usaha menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling penting dan bermanfaat ialah penjagaan dengan melakukan dzikir yang disyari’atkan, membaca do’a dan ta’awudz sesuai dengan tuntunan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, diantaranya seperti di bawah ini:
  • Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat lima waktu, sesudah membaca wirid atau ketika akan tidur. Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar nilainya di dalam Al Qur’an. Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya, yang artinya:  “Barangsiapa membaca ayat Kursi pada amalam hari, Alloh senantiasa menjaganya dan syetan tidak mendekatinya sampai shubuh”.  Ayat Kursi terdapat dalam surat Al Baqoroh ayat 255 yang artinya: “Alloh tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (mahluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur, Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Alloh tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengtahui apa –apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Alloh tidak merasa berat memelihara keduanya dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Beriman Kepada Hari Akhir

Hari akhir sering kali diperbincangkan oleh sebagian umat manusia. Meski diperbincangkan namun tidak banyak yang mencoba bersiap untuk menyambut kehadirannya. Memang di sana ada beberapa golongan manusia yang menyikapi tentang kehidupan yang lain ini, dan ada pula yang mengingkarinya, ada yang ragu dan ada pula yang beriman kepadanya yang disebutkan terakhir adalah orang-orang mukmin yang bertakwa kepada Alloh ‘Azza wa Jalla.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “alif lam mim, inilah alkitab yang tidak ada keraguan didalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa yaityu yang beriman dengan hal-hal yang ghoib.…” (QS: Al-Baqarah: 1-5)
Orang-orang mukmin merekalah yang percaya secara pasti tentang datangnya hari tersebut, diawali dengan kehidupan di alam kubur kemudian Alloh ‘Azza wa Jalla bangkitkan manusia dari kubur mereka, dihisab dan dibalas perbuatan mereka sehingga penduduk surga menempati tempat mereka dan penduduk neraka menempati tempat mereka pula.
Beriman kepada hari akhir meliputi 2 hal:
  1. yaitu beriman kepada adanya kebangkitan dan dihimpunkannya manusia. Setelah kematian seluruh manusia, Alloh ‘Azza wa Jalla kemudian menghidupkan kembali orang-orang mati dari kubur mereka serta dikembalikan setiap ruh kepada tubuhnya lalu bangkitlah umat manusia untuk menghadap kepada tuhan mereka. Mereka dihimpunkan dan dikumpulkan didalam suatu keadaan tanpa alas kaki, telanjang tanpa berpakaian dan belum berkhitan. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “kemudian sesudah itu sesungguhnya kalian benar-benar akan mati , kemudian sensungguhnya kamu sekalian akan dibangkitakan dari kuburmu dihari kiamat” (QS: Al – Mukminun: 15-16)
    Tentang penghimpunan dan pengumpulan manusia, Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “pada hari kiamat manusia dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang dan tanpa dihitan” (mutafaqun alaih)

Sekilas Tentang Keberadaan Surga dan Neraka

Surga dan neraka adalah dua makhluk Alloh Ta’ala. Sebagai seorang muslim kita harus mengimaninya. Kita yakin bahwasanya surga dan neraka itu ada dan tidak akan pernah binasa. Setiap insan yang beriman tentu ingin menikmati keindahan surga dan takut terjerumus dalam siksa neraka. Oleh sebab itulah sudah seyogyanya kita kenali lebih dekat apa itu surga dan neraka dan bagaimanakah cara agar kita bisa masuk ke dalam surga dan terhindar dari siksa neraka.
Keberadaan Surga
Adapun kata Jannah atau surga secara bahasa artinya taman. Sedangkan maknanya yang dimaksudkan dalam pembicaraan syari’at adalah sebuah tempat tinggal yang disediakan oleh Alloh bagi orang-orang yang membela agama-Nya yaitu orang-orang  yang bertakwa. Di dalam surga itu terdapat kenikmatan yang tiada tara. Sebuah kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga dan belum pernah terbetik di dalam hati umat manusia. Alloh ta’ala berfirman yang artinya, “Maka tidaklah ada jiwa yang mengetahui balasan yang disembunyikan pengetahuannya terhadap mereka, yaitu keindahan yang menyejukkan mata sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan” (QS: As Sajdah: 17)Surga sekarang sudah ada. Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa surga sudah ada sangat banyak jumlahnya. Beberapa dalil di antaranya adalah sebagai berikut:

Persaksian tentang orang yang masuk surga dan neraka

Persaksian untuk menyatakan bahwa seseorang termasuk penghuni surga ada dua macam: Persaksian umum dan persaksian khusus. Adapun yang dimaksud dengan persaksian umum ialah kita nyatakan secara umum bahwasanya semua orang yang beriman pasti masuk surga tanpa menyebutkan individu-individunya.
Dalilnya adalah firman Alloh ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh maka balasan bagi mereka adalah tinggal di dalam surga-surga Firdaus.” (QS: Al Kahfi: 107)Adapun yang dimaksud dengan persaksian secara khusus adalah kita mempersaksikan bahwasanya individu-individu tertentu sebagai penghuni surga. Dan hal ini hanya bisa dilakukan jika ada dalilnya dari Al Kitab dan As Sunnah. Oleh karena itulah barangsiapa yang sudah dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia termasuk penghuni surga maka kita pun ikut mepersaksikannya. Seperti contohnya: sepuluh orang sahabat yang sudah dijamin masuk surga yaitu: Empat orang khalifah, Sa’id bin Zaid, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhah, Zubeir dan Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhum. Begitu pula sahabat Tsabit bin Qais bin Syamaas, ‘Ukkasyah bin Mihshan dan lain-lain.

Ketakutan Para Malaikat

Diriwayatkan bahwa para malaikat yang menyangga ‘Arsy, ada yang matanya menangis seperti aliran sungai. Jika malaikat itu menengadahkan kepalanya, maka dia berkata, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang layak ditakuti kecuali menurut hak ketakutan kepada-Mu”. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Tetapi orang-orang yang bersumpah atas nama-Ku justru berbuat dusta, dan mereka tidak mengetahui hal ini”.
Dari Jabir, dia berkata, “Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada malam aku melakukan isra’, aku melihat Jibril seperti geriba yang basah kuyup karena takut kepada Alloh.”Diriwayatkan bahwa Malaikat Jibril mendatangi Rasululloh ShalAllohu ‘alaihi wa sallam sambil menangis. Beliau bertanya “Apa yang membuat engkau menangis?” Jibril menjawab, “Mataku tidak pernah berhenti menangis semenjak Allah menciptakan neraka Jahannam, karena aku takut akan mendurhakai-Nya, lalu Dia akan melemparkan aku kedalamnya”.
Dari Yazid Ar-Ruqasyi, dia berkata, “Sesungguhnya Alloh mempunyai para malaikat yang berada disekitar ‘Arsy. Mata mereka menangis layaknya sungai hingga hari kiamat tiba. Mereka bergetar seakan diguncang angin karena takut kepada Allah.” Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: ”Wahai para malaikat-Ku apa yang membuat kalian takut sementara kalian ada disisi-Ku”, para malaikat menjawab “Ya Rabbi, andaikata penghuni bumi melihat kemuliaan dan keagungan Engkau seperti yang kami lihat ini tentu mereka tidak sanggup makan dan minum, tidak sanggup tidur, lalu mereka keluar ke tengah padang pasir untuk menguak di sana seperti sapi yang menguak.”
Muhammad bin Al-Munkadir berkata “Tatkala neraka diciptakan maka jantung para malaikat lepas dari tempatnya . Lalu tatkala Adam diciptakan jantung mereka pun kembali ke tempatnya semula”.

Rabu, 25 Mei 2011

Keberanian dan ketabahan rosulullah

Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai keberanian yang mengagumkan dan tiada tandingannya dalam membela agama dan menegakkan kalimatullah Ta’ala. Beliau mempergunakan nikmat-nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang dicurahkan atas beliau pada tempat yang semestinya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah mengungkapkan hal itu dalam sebuah hadits, yang artinya: “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali memukul seorangpun kecuali dalam rangka berjihad di jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Beliau tidak pernah memukul pelayan dan kaum wanita.” (HR: Muslim)
Di antara bukti keberanian beliau adalah kegigihan beliau dalam mendakwahkan agama Islam seorang diri menghadapi kaum kafir Quraisy dan pemuka-pemuka-nya. Demikian juga keteguhan beliau di atas keyakinan tersebut hingga Alloh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan pertolongan-Nya. Beliau tidak pernah mengeluh atau berkata: “Tidak ada yang sudi menyertaiku, sedangkan orang-orang semuanya memusuhiku.” Akan tetapi beliau bersandar serta bertawakkal kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan tetap meneruskan perjuangan dakwah beliau.
Beliau adalah seorang pemberani dan sangat teguh dalam memegang dan melaksanakan pendirian. Ketika orang-orang lari bercerai berai, beliau tetap teguh bagaikan karang.

Sifat Malu

Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara, sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya. Secara kodrat, kaum wanita sangat beruntung, dianugrahi fitrah penciptaannya  dengan rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun, ironisnya, kini banyak sekali wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia dan terpuji itu. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai saat ini kaum wanita yang lebih tidak tahu malu daripada laki-laki.
Malu adalah Iman
Lunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR: Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan Dzahabi menyepakatinya)

akhlaq luhur

Muslim yang benar selalu menampilkan budi yang baik, perangai yang lembut, perkataan yang lembut, perkataan yang halus dan ramah. Nabi  manusia yang harus dijadikan panutan dan idola kaum muslimin telah banyak mencontohkan perbuatan perbuatan yang mulia diatas untuk menuntun umatnya.
Anas Radiyallahu ‘anhu, sahabat sekaligus  pembantu setia nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam, mengatakan bahwa beliau merupakan manusia yang paling baik ahlaknya. Anas Radiyallahu ‘anhu menceritakan: “Aku telah membantu Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam selama sepuluh tahun .selama itu pula tak pernah sekalipun meluncur dari lisan beliau kepadaku kata “ah”dan beliau tak pernah megatakan untuk suatu yang kerjakan mengapa engkau lakukan hal itu ?”tidak pula untuk suatu yang aku kerjakan “mengapa kamu tidak melakukannya?” (HR: Muttafaq alaih).
Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam selalu menjauhi perbuatan maupun ucapan yang kotor. Abdullaah Bin Amru bin Ash Radiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa nabi  ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya yang termasuk insane piliha diantara kamu sekalian adalh yang terbaik ahlaqnya” (HR: Muttafaq alaih).
Dalam riwayat lain, yang artinya: “Sesungguhnya kekejian dan perbuatan keji itu sedikitpun bukan dari islam dan sesungguhnya sebaik-baiknya manusia keislamannya adalah yang baik ahlaqnya” (HR: Thabrani ,Ahmad, Abu ya’la).
Dalam riwayat lain pula, yang artinya: “Sesungguhnya yang aku cintai di antara kalian dan paling dekat kedudukannya dengan ku dihari kiamat adalah yang paling baik ahlaqnya. Dan yang paling benci dan jauh dariku dihari kiamat adalah yang banyak bicara dan berlagak sombong serta bertele tele dalam berbicara.”bertanya pera sahabat:”ya Rasululloh, kami tahu apa yang dinamakan “Ats tsartsaarun wal mutasyaddiqun (banyak bicara dan bertele-tele),lalu apakah arti mutafaihaiqun’?’”Rasululloh menjawab.”Almutakabbirun (sombong).” (HR: Tirmidzi).
Semua sahabat Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam –yang diridhoi Alloh Subhanahu wa Ta’ala–  selalu tekun mendengar dan mengikuti bimbingan ahlak yang mulia dari beliau. Mereka menyaksikan sendiri ketinggian akhlaq beliau. Mereka dengan penuh kesadaran dan semangat, berbuat sesuai deangan ajaran beliau, meneladani baliau, sehinga waktu itu tegaklah suatu masyarakat Islam yang indah, adil yang tidak bisa dilupakan didalam sejarah umat manusia.
Anas Radiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi  penuh dengan sifat belas kasih, tak ada seorangpun mendatangi beliau kecuali beliau telah menjanjikan dan memenuhi janjinya jika telah berjanji jikatelah berjanji dengan saorang meskipun beliau sedang mendirikan shalat. Pernah datang saorang arab badui kepada beliau, lalu menarik baju beliau seraya berkata: sesungguhnya aku tetap akan melaksanakan hajatku  (sekarang juga), aku takut lupa, maka Nabi berdiri bersamanya sehingga ia menyelesaikan hajatnya kemudian beliau menghadap kiblat dan meneruskan Shalat” (HR: Bukhari).
Tidak nampak pada diri Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam rasa keberatan sedikitpun untuk mendengar orang arab itu dan menyelesaikan hajatnya, padahal beliau tengah mendirikan sholat. Tidaklah sempit dadanya mendapat perlakuan kasar laki-laki tersebut yang menarik bajunya, dan menunggu menyelesaikan hajatnya sebelum shalat. Beliau bersabar, lembut dalam membengun masyarakat yang tegak atas moral yang suci. Beliau mendidik kaum muslimin melalui perbuatan nyata, bagaimana seharusnya saorang muslim membantu sesama saudaranya. Dia telah menegakkkan suatu prinsip dan sendi-sendi akhlaq yang diperlukan bagi masyarakat muslim yang kokoh.
Jika kita lihat, kebajikan moral pada masyarakat bukan muslim selalu berpulang kepada kebaikan system pendidikan, dan hasil kerja ilmiah. Sedangkan pada masyarakat muslim, sebelum dikembalikan kepada unsur-unsur tersebut, terlebih dulu masalah-masalah itu kembalikan kepada agama yang menjadikan akhlaq sebagai tabiat asli kaum muslimin dan akhlak memproleh kedudukan yang tinggi dalam Islam, akhlaq memiliki berat bobot timbangan disisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda, yang artinya: ”Tiada sesuatu yang lebih berat timbanganya bagi saorang muslim dihari kiamat daripada keluhuran ahlaknya.dan allah membenci orang yang keji dalam ucapan ataupun perbuatannya” (HR: Thabrani).
Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam sangat menekankan pada perkara akhlaq ini. Semua beliau lakukan dengan berbagai acara baik dengan lisan maupun perbuatan nyata sehingga beliau berhasil meresapkan ajaran beliau kelubuk hati hati para sahabatnya sekaligus pengikutnya, mensucikan jiwa mereka dan memperindah akhlaq mereka.

Etika berbeda pendapat

Di saat berbeda pendapat baik dalam suatu majelis atau bukan, sebagai seorang muslim kita berupaya untuk ikhlas dan mencari yang haq serta melepaskan diri dari nafsu  dan juga menghindari sikap show (ingin tampil) dan membela diri dan nafsu.
Seorang muslim haruslah mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Al-Qur’an dan Sunnah. Karena Alloh Subhaanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: “Dan jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Kitab) dan Rasul”. (QS: An-Nisa: 59).
Seorang muslim berupaya berbaik sangka kepada orang yang berbeda pendapat dengan kita dan tidak menuduh buruk niatnya, mencela dan menganggapnya cacat. Sebisa mungkin berusaha untuk tidak memperuncing perselisihan, yaitu dengan cara menafsirkan pendapat yang keluar dari lawan atau yang dinisbatkan kepadanya dengan tafsiran yang baik.
Seorang muslim berusaha sebisa mungkin untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, kecuali sesudah penelitian yang dalam dan difikirkan secara matang. Berlapang dada di dalam menerima kritikan yang ditujukan kepada anda atau catatan-catatang yang dialamatkan kepada anda.
Sedapat mungkin menghindari permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah. Berpegang teguh dengan etika berdialog dan menghindari perdebatan, bantah-membantah dan kasar menghadapi lawan.
(Sumber Rujukan: Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari; Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan)

angka 13 sial kah

“Eeh ..ente dapat nomor urut berapa?“ tanya Fulan kepada Si Akhi, “13“ jawab Si Akhi singkat. “Waah..angka sial tuh, mendingan diganti dech, daripada ente yang kena sial!“ sambung Fulan menimpali jawaban dari Si Akhi. Benarkah angka tiga belas itu sial? benarkah angka tiga belas itu dapat membawa kemudharatan dan bisa mendatangkan kemashalatan bagi manusia? mungkin seabreg pertanyaan bakalan muncul dibenak kita ketika melihat kejadian seperti diatas. Wajar dong ya? hal-hal seperti itu akan menggelitik khazanah berpikir kita, yang katanya (katanya loh..!!!) generasi pembaharuan yang selalu ingin tahu akan segala sesuatu. Apalagi bagi kita yang aktif mempelajari islam secara baik. Hal kecil seperti ini harus menjadi perhatian dan wajib dicari jawabannya, sehingga kita ngga’ bakalan terjebak didalam informasi yang sesat dan bisa menyesatkan kita. Salah-salah mencari jawaban malah dapat merusak aqidah kita, nah loh! Coba deh kita liatin  yuk, apa pandangan Islam terhadap masalah kayak ginian.
Iman Kepada Ketentuan Alloh Subhanahuwata’ala
Di dalam agama Islam, mempercayai segala sesuatu yang dapat membawa kemudharatan dan kesialan bagi manusia dengan menampik ketentuan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala, disebut dengan Tathayyur. Apaan tuh Tathayyur…? Mudahnya, mempercayai angka tiga belas itu bisa membawa sial, percaya bahwa suara burung sebagai pertanda akan datangnya nasib baik ataupun buruk ataupun juga menyandarkan segala sesuatu yang terjadi di alam ini karena peredaran bintang merupakan beberapa contoh dari sekian banyak contoh dari sikap Tathayyur yang dapat kita temui dalam masyarakat kita. Nahh…faham kan.

Wasiat Aqidah Imam Syafi’i

Imam Syafi’i, begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, begitu lekat di dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin. Namun sangat disayangkan, orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal beliau adalah tokoh dari kalangan umat Islam dengan multi keahlian. Karena itu ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits). Dan Imam Adz-Dzahabi menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus Sunnah (pembela sunnah) dan salah seorang Mujaddid (pembaharu) pada abad kedua hijriyah.
Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata: “Inilah wasiat Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah Anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Alloh Yang Maha Satu, yang tiada sekutu bagiNya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdillah adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak membedakan para rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata, Tuhan semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk itulah aku diperintah, dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepadaNya. Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya Surga itu haq, Neraka itu haq, adzab Neraka itu haq, hisab itu haq dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala membalas hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi InsyaAlloh. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kalam Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bukan makhluk ciptaanNya. Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka mendengar firmanNya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir, baik buruknya adalah berasal dari Alloh Yang Maha Perkasa dan Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ qadarNya.
Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasullulloh shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu’anhum. Aku mencintai dan setia kepada mereka, dan memohonkan ampun bagi mereka, bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah) selama mereka mendirikan sholat. Tidak boleh membangkang serta memberontak mereka dengan senjata. Kekhilafahan (kepemimpinan) berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram.
Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at, jama’ah dan sunnah (Rasullulloh Shallallahu’alaihi wasallam). Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca “Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna Muhammadan ‘abduhu warasuluh”.

Manusia Pilihan

Segala yang ada di dunia ini adalah fana dan tiada yang kekal, tapi bukan berarti telah berakhir sampai disini. Tapi menuju ke alam berikutnya yaitu hari akhir, suatu kehidupan yang kekal tiada berakhir. Semua jiwa pasti akan kembali kepada pemilik dan penciptanya yaitu Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Setelah ditiup sangkakala yang kedua seluruh manusia dibangkitkan dari kuburan-kuburan mereka dalam keadaan tidak membawa apa pun, tidak beralas kaki, tidak berbusana, dan juga tidak berkhitan.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah, bahwa baginda Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berbusana, dan tidak berkhitan.” Kemudian Aisyah berkata: “Wahai Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam! Apakah seluruh para wanita dan laki-laki seperti itu, sehingga saling melihat diantara mereka? Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, yang artinya: “Wahai Aisyah! Kondisi waktu itu amat ngeri dari pada sekedar melihat antara satu dengan lainnya.” (HR: Al Bukhari no 6527 dan Muslim no. 2859)

Pemahaman tentang tasyabuh

At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-Tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya, meniru dan mengikutinya. Tasyabbuh yang dilarang dalam Al-Quran dan As-Sunnah secara syar’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukkan ciri khas mereka (kaum kafir).
Termasuk dalam tasyabbuh yaitu meniru terhadap orang-orang yang tidak shalih, walaupun mereka itu dari kalangan kaum muslimin, seperti orang-orang fasik, orang-orang awam dan jahil, atau orang-orang Arab (badui) yang tidak sempurna diennya (keislamannya). Oleh karena itu, secara global kita katakan bahwa segala sesuatu yang tidak termasuk ciri khusus orang-orang kafir, baik aqidahnya, adat-istiadatnya, peribadatannya, dan hal itu tidak bertentangan dengan nash-nash serta prinsip-prinsip syari’at, atau tidak dikhawatirkan akan membawa kepada kerusakan, maka tidak termasuk tasyabbuh. Inilah pengertian secara global.
Yang pertama kali harus kita pahami seperti dinyatakan dalam beberapa ketentuan Islam, bahwa dien (Islam) dibangun di atas pondasi yang dinamakan at-taslim, yakni penyerahan diri secara totalitas kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Bentuk Loyalitas Kepada Musuh Alloh

Memberikan loyalitas kepada musuh Alloh Subahanahu wa Ta’ala yaitu orang-orang kafir adalah perkara yang dilarang Alloh Subahanahu wa Ta’ala.  Islam telah menetapkan loyalitas tunggal dalam segala hal yaitu kepada Alloh Subahanahu wa Ta’ala saja.
Bbentuk-bentuk loyalitas kepada musuh-musuh Islam yang dilarang oleh Alloh Subahanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah diantaranya sebagai berikut:
Pertama: Meniru/menyerupai mereka dalam berpakaian, ucapan dan lainnya, karena yang demikian ini menunjukkan kecintaan. Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Pengharaman ini dalam hal-hal yang menjadi ciri khas mereka seperti adat istiadat, ibadah, sifat-sifat serta tingkah laku seperti mencukur jenggot, memanjangkan kumis, berpakaian, makan, minum dan lainnya.
Kedua: Bepergian ke negara mereka dengan tujuan wisata dan rekreasi. Bepergian  ke negara kafir diharamkan kecuali dalam keadaan darurat, seperti: berobat, berdagang, dan belajar ilmu-ilmu tertentu yang bermanfaat, yang tidak mungkin didapat kecuali di negeri mereka. Hal ini diperbolehkan sebatas keperluan, dan jika keperluannya telah selesai, maka wajib kembali ke negara kaum muslimin. Diperbolehkan juga dengan syarat untuk senantiasa memperlihatkan ke-Islamannya, serta bangga dengan ke-Islamannya. Ia harus menjauhi tempat-tempat maksiat dan berhati-hati dari segala bentuk tipu daya para musuh-musuhnya pula. Diperbolehkan bahkan wajib bepergian ke negara mereka jika bertujuan untuk berdakwah dan menyebarkan Islam.
Ketiga:  Membantu dan menolong mereka untuk mengalahkan kaum muslimin, memuji-muji dan membela mereka, hal ini merupakan bagian dari rusaknya aqidah ke-Islaman juga penyebab dari kemurtadan. Kita berlindung kepada Alloh dari yang demikian.